IBU, DAUN, SENJA
Ibu suka duduk di beranda. Menikmati angin senja. Memandangi daun-daun berjatuhan di halaman. Sebentar lagi, saat matahari surut ke balik gunung. Ibu akan segera memanggilku. Menyuruhku menyapu daun-daun itu. Mengumpulkan. Lalu membakarnya. Dari ruang belakang, aku sudah menunggu panggilan ibu. Namun meskipun matahari sudah terbenam, ibu belum juga memanggilku. Ingin rasanya aku berjalan ke depan. Menghampiri ibu. Dan mengerjakan apa pun yang di perintahkannya. Namun, aku masih menahan diri untuk beberapa waktu. Mungkin sepuluh menit sudah berlalu. Suasana senja semakin remang dan nyaris gelap. Tetapi, ibu belum juga memanggilku. Apakah ibu lupa? Aku segera berjalan melipir dari samping rumah. Begitu langkahku mencapai teras beranda, aku lihat ibu sedang asyiktermenung. Atau melamun? Dalam remang, masih dapat kulihat di halaman berserakan daun. Besar dan kecil. Itu pasti daun-daun mangga milik tetangga atau daun- daun mahoni di seberang jalan. Atau daun-daun lain yang entah apa namanya dan entah dari mana asalnya. Tak ada niat untuk menyapu. Sudah terlampau senja. Lalu kuhampiri ibu. Apa yang tengah ibu rnungkan di saat senja sudah sangat tua begini?
“ Ibu,” ucapku nyaris berbisik.
Sekilas ibu tampak terkejut. Tetapi, setelah tahu yang datang adalah aku, ibu tersenyum. Tipis sekali.
“ Kau tak perlu menyapu kali ini.”
“ Sudah hamper malam, Bu. Mengapa ibu belum masuk?”
“ Ibu masih ingin di luar, Nak. Ibu suka melihat keluasan langit. Ibu suka menikmati hembusan angin. Ibu suka sekali melihat daun-daun yang di baker! Ibu seperti menghayati sekali.” Ibu terdiam.
“ Ibu bisa sakit jika terlalu lama di luar. Apalagi dalam udara malam.”
“ Jangan terlalu mengkhawatirkan ibu, Nak. Tapi, baiklah. Antar ibu ke kamar.”
Kubantu Ibu bangkit dari kursi dan kupapah masuk rumah. Setelah mengantarkan ibu, aku cepat balik lagi ke depan. Membenahi meja kursi di beranda. Menutup pintu, jendela, mengunci, menyalakan lampu-lampu beranda dan halaman. Rutinitas kerjaku biasanya langsung surut, usai mengunci pintu dan menyalakan lampu-lampu. Dan aku akan segera masuk kamarku. Dengar radio, nonton televisi, atau membaca.
Ibu selalu penuh perhatian. Jika malam, telah tiba, ibu jarang menggangguku dengan menyuruh ini itu. Hanya sesekali ibu memanggilku dengan telepon yang di pasang parallel jika akan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu atau hendak buang hajat. Hamper sepuluh tahun aku menemani Ibu. Irama senja, malam, dan pagi tak pernah berubah. Namun, rutinitas itu sama sekali tak membuatku jenuh mengabdi pada Ibu.
Sebenarnya, ia bukanlah ibuku. Ia hanya seorang wanita tua yang baik hati. Dan ia memintaku agar aku memanggilnya “ Ibu”, siapa pun yang tak tahu asal usulnya orang akan menduga aku adalah anak kandungnya. Anak satu-satunya. Aku sendiri tak tahu, siapa sebenarnya wanita itu, siapakah sebenarnya aku? Dengan senyum jenaka, wanita tua itu akan menjawab “ kau adalah anak ibu. Anak ibu yang cantik, manis, dan rajin bekerja.”
Ingatan masa kecilku tak sanggup menelusuri jejak hidupku lebih jauh. Tak ada sedikit pun membekas di benakku baying-bayang bapak ibukku. Yang membekas hanya kolong- kolong jembatan, rumah- rumah kardus, dan empera-emperan toko yang muram. Semua itu selalu membayang demikian jelas di kelopak mataku. Bahkan, sampai kapan pun bayangan itu takkan pernah hilang. Itu semua sudah menjadi bagian masa kecilku yang tak mungkin terhapuskan. Anadai wanita tua itu tak berbaikhati memungutku dari jalanan, entah apa jadinya masa depanku. Mungkin kini aku sudah jadi gadis jalanan. Atau malah gembel. Aku sangat merasa berhutang budi pada wanita tua itu. Aku sudah bertekad mengabdi kepadanya sampai akhir hidupku. Namun, tekadku tampaknya tak akan kesampaian. Pengabdianku tampaknya hanya sampai pada akhir hidupnya. Sebab dari hari ke hari wanita itu bertambah uzur dan rapuh. Sering sakit. Jalan pun harus dipapah. Pernah aku bertanya, apakah ia punya anak selain aku? Pertanyaanku dijawabnya dengan sendu. Tidak. Dan ketika aku bertanya lebih jauh tentang suaminya. Tiba-tiba riak mukanya memucat. Sampai sekarang pun pertannyaanku menggantung tak menemukan jawab.
Pagi datang lagi. Matahari bersinar lembut di ufuk. Seperti biasa, ibu minta di antarkan ke halaman belakang, menjemur diri hingga kira-kira pukul delapan. Sementara ibu di halaman belakang, aku menyiapkan sarapan roti dan susu. Lalu segera membawanya kepada ibu. Ibu selalu sarapan sambil menghangatkan tubuhnya di bawah matahari pagi. Dulu, semasa aku sekolah, dan ibu juga masih sehat, menjemur diri di pagi hari tidak di lakukan.
Hanya olahraga lari pagi. itu pun seminggu sekali biasanya hari minggu. Aku sendiri sering menemaninya. Dan yang menyiapkan makanan selalu Ibu. Aku sangat bersyukur, dulu ibu selalu sehat walafiat. Andai dulu sudah sakit-sakitan tentu aku bakal sangat kerepotan. Aku harus pandai-pandai mengatur waktu untuk masak, mencuci, sekolah, menyapu, dan lain-lain. Ibu tak pernah punya niat mengambil pembantu.
“ jangan biasakanhidup manja.” Katanya.
Ibu mulai sering sakit sejak aku lulus SMA tiga bulan yang lalu. Mula-mula, Ibu mengeluh kepalanya sakit sebelah. Setelah di periksa dokter, Ibu kena migraine. Tak lama kemudian, suka kejang-kejang dan kemudian gejala stroke. Sejak itu, aktivitas Ibu di luar rumah berkurang, berkurang dan akhirnya tidak sama sekali. Aku tahu, ibu memiliki lahan perkebunan sangat luas di suatu tempat di luar kota. Sekali ibu pernah cerita, perkebunan kelapa sawit itu bukan murni hasil jerih payahnya. Dan kelak, aku akn mewarisinya. Beberapa kali Ibu pernah mengajakku melihat perkebunan itu.
“ Jika tiba waktunya, akan Ibu serahkan semua itu kepadamu. Sekarang, kau belajar baik-baik. Kalau perlu kuliah.”
Setelah lulus SMA, Aku memang di suruh Ibu kuliah. Namun, aku menolak. Aku tak mau merepotkan Ibu meskipun soal biaya sama sekali tidak akan jadi masalah. Ibu punya cukup simpanan. Karena tak mau kuliah, Ibulah yang “menguliahiku”. Hamper setiap hari, ibu menuturkan pengalaman bisnis perkebunannya kepadaku. Dari cerita-cerita pengalamannya itu di harapkan wawasanku tentang strategi dan etika berbisnis akan bertambah. Dan cerita seputar itu. Tak sekalipun ia menyinggung cerita masa kecilnya. Apalgi latar belakang keluarganya. Lalu Ibu mengungkapkan harapannya agar kelak aku jadi wanita karier yang sukses seperti dia. Dan harus mampu meneruskan jejak yang sudah dirintisnya.
“ Ibu ingin membuktikan anak jalanan pun jika di beri kesempatan akan mampu merasa sukses.”
Sarapan Ibu tampak tak nafsu. Dua keping roti hanya habis satu. Cuma susu yang tanpa sisa.
“ Siang kau antar Ibu ke dokter. Kau tak kemana-mana, kan?”
“ Tidak, Bu.”
“ Kau memang tak pernah ke mana-mana. Kau tentu merasa terkurung gara-gara ibu.”
“ Jangan berkata begitu, Bu.”
“ Kau muda. Ibu pernah mengalami masa muda.”
“ Sudahlah, Bu. Jangan banyak pikiran. Aku akan senang sekali jika Ibu segera sembuh.”
“ Ibu sudah kena stroke. Di tambah migraine lagi. Tipis harapan bakal sembuh.”
“ Ibu……., sudahlah, Bu.”
“ Mungkin sudah tiba waktunya, Ibu mengajakmu meninjau perkebunan itu lagi. Pulang dari dokter kita ke langsung ke sana.”
“ Jangan dulu, Bu. Masih ada waktu. Lain kali saja.”
“ Ibu khawatir ‘lain kali’ Ibu tak ketemu lagi.”
“ Ibu….!” Kupeluk Ibu angkatku itu.
Perkebunan itu sangat luas. Puluhan hectare. Dan ratusan batang sawit tumbuh amat rimbunnya. Sehari setelah cek ke dokter, Ibu mengajakku meninjau perkebunan itu. Dengan lebih seksama. Mengamati sudut-sudut lahan perkebunan hingga pola tanah, panen, dan tebang. Dan aku nyaris tak percaya lahan seluas itu kelak akn menjadi milikku. Rasanya seperti mimpi. Namun, itu bukan sekedar mimpi. Seminggu kemudian, ibu meninggal. Dan harta perkebunan sawit yang amat luas itu sah jadi milikku. Sebelum meninggal, diam-diam Ibu sudah mengalihnamakan kepemilikan seluruh hartanya. Aku harus benar-benar bersyukur kepada Tuhan. Bahwa aku melalui jalan kehidupan ini dengan lurus dan mulus. Meskipun dulu aku lahir dan besar di jalanan, tanpa jelas siapa yang melahirkan, merawat, dan membesarkanku. Ternyata, ada seorang wanita baik hati yang menyelamtakn masa depanku. Tanpa wanita baik hati itu, entah apa jadinya nasibku.
Menjadi wanita karier, ternyata tak bisa santai. Aku mesti sering keluar rumah menyelesaikan ini itu. Aku tak bisa memasrahkan segala urusan hanya pada sekertaris atau pembantu- pembantu yang lain yang sudah lama bekerja di perkebunan itu sejak Ibu merintis bisnis. Dari hari ke hari, setelah cukup lama mengelola perkebunan itu, aku kadang di hinggapi rasa letih. Dan ingin istirahat. Maka kini aku sering duduk- duduk di beranda, mengawasi langit senja dan sampah daun berserakan. Tapi kini, tak ada gadis yang menyapu, mengumpulkan apalagi membakarnya. Tiba-tiba benakku di sesaki kenangan masa kecilku, kolong- kolong jembatan, rumah- rumah kardus, dan emperan- emperan took yang muram…. Apakah Ibu juga memiliki kenangan masa kecil yang sama denganku? Setelah Ibu tiada, pertanyyaan itu semakin sulit dijawab.
Oleh: Abdul kodir
Sumber: Lampung post, 26 Desember 2004